Tanjung, Tak semua “wanita karier” ingin bekerja ataupun bertugas di daerah perkotaan yang notabane ditopang banyak fasilitas pendukung dan berbagai kemudahan lainnya.
Di bumi Saraba Kawa, mungkin dapat dihitung dengan jari petugas kesehatan perempuan yang menawarkan diri untuk ditugaskan di daerah terisolir.
Segelintir perempuan tangguh tersebut diantaranya adalah dr. Melissa Yosephine Manoi.
Dokter berparas ayu ini menyampaikan Ia mulai bertugas di Puskesmas Panaan terhitung sejak awal tahun 2021.
“Tepatnya awal Januari 2021” ujarnya pada kontrasonline.com, Selasa (06/07) siang di salah satu kantor pemerintahan, perjumpaan yang tak disengaja.
Perempuan kelahiran Sulawesi Utara ini mengatakan awalnya keinginan untuk bertugas di daerah terpencil tidak disetujui oleh atasannya dengan beberapa pertimbangan.
“Kebetulan kepala Puskesmas Panaan meminta tambahan petugas kesehatan karena diwilayah sana kekurangan, akhirnya keinginan saya disetujui” ujarnya sambil tersenyum.
Perempuan berusia 32 tahun ini pun mengaku “menikmati” suasana dan keadaan wilayah tempatnya sekarang bertugas.
Puskesmas Panaan, tuturnya, memiliki tiga wilayah kerja yaitu desa Dambung, Hegermanah termasuk Panaan sendiri.
Di Panaan hanya terdapat dua dokter ; kepala Puskesmas dan dr. Melissa.
“Di tiga wilayah tersebut masing -masing ada Bidan desa, ada 3 orang, namun satu orang sudah berhenti, ditambah petugas TKS juga masing – masing satu orang” bebernya.
Warga yang sering berobat langsung ke Puskesmas berasal dari desa Panaan RT 01 karena jaraknya tidak begitu jauh.
“Selebihnya kita jemput bola mendatangi warga, bikin posko kesehatan, dimana ada bangunan seperti balai desa, polindes ataupun puskesdes kita beri pelayanan” katanya.
Secara berkala petugas kesehatan mendatangi permukiman warga.
“Ada yang jadwalnya 2 minggu sekali dan untuk puskesmas keliling jadwalnya 1 bulan sekali” imbuhnya.
Sedang untuk kegiatan yang tidak terjadwal khususnya keadaan gawat darurat petugas Puskesmas standby selama 24 jam.
“Kami buka pelayanan selama 24 jam, untuk keadaan darurat puskesmas memberi pelayanan rawat inap” ungkapnya.
Karena medan yang sulit dan butuh waktu lama untuk menempuhnya, terkadang warga yang ingin berobat baru sampai pada sore hari.
“Kalau keadaan pasien terbilang darurat dan merujuknya ke RSUD susah, puskesmas mau tidak mau harus memberi layanan rawat inap” tambahnya.
Perempuan tangguh penyuka Travelling ini juga menceritakan untuk memberi pelayanan kesehatan jemput bola pada masyarakat di tiga wilayah tersebut, membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama dengan medan jalan yang penuh lumpur.
“Paling dekat waktu tempuhnya 1 jam, paling jauh bisa memakan waktu 2,5 jam” ujarnya.
Ditanya suka-duka bertugas didaerah terpencil dengan kondisi jalan yang “tak karuan” Ia menjawab sambil tertawa.
“Saya senang Travelling dan suka tantangan, kerja disini juga mendukung hobby, biasanya kerjanya duduk – duduk saja, disini keliling – keliling, saya menikmati” ujarnya santai.
Dokter yang sebelumnya bertugas di Puskesmas Tanta ini pun mengaku tak sekali dua dirinya jatuh dari motor Trail yang dikendarainya karena jalan yang penuh lumpur.
“Kalau lagi kemarau, jalan yang berlumpur hanya di titik – titik tertentu saja, tapi kalau musim penghujan hampir sepanjang jalan kondisinya rusak parah” timpalnya.
Tak jarang juga jalan tidak bisa dilewati karena ada pohon yang tumbang menutupi badan jalan.
Disaat hujan sering turun, terkadang mereka tidak bisa mengunjungi desa lewat jalan darat.
“Kalau curah hujan lagi tinggi beberapa lokasi terpaksa kita datangi dengan perahu atau lewat jalur sungai” katanya.
“Misalnya di Panaan RT 02, tak bisa ditempuh lewat darat harus lewat sungai. Waktu tempuhnya kalau melawan arus 1 jam dan ikut arus sekitar 30 an menit, dua jam lah kalau pulang pergi (PP)” sambungnya.
Karena medan yang berat, setiap kali keliling memberikan pelayanan, petugas kesehatan tidak diperkenankan berangkat seorang diri.
“Minimal dua orang. Kalau kelilingnya dengan mobil Ambulan, rekan yang mendampingi pakai motor, jadi kalau ada salah satu yang rusak masih bisa nebeng” tuturnya.
Untuk diketahui, puskesmas Panaan memiliki 2 unit mobil ambulan dengan kondisi yang sudah tak prima lagi.
Medan berat berupa jalan bergunung- gunung dan juga berlumpur membuat “umur produktif” mobil cepat berkurang dibanding jika digunakan dijalan yang kondisinya normal pada umumnya.
“Satu unit ambulan sudah tidak kuat menanjak lagi, satunya juga sudah berumur” jelasnya.
dr. Melissa mengatakan keberadaan ambulan sangat penting bagi mereka.
“Hampir selalu ada pasien yang harus di rujuk ke RSUD, minggu kemarin saja ada dua pasien warga yang harus dirujuk” bebernya.
Mengingat vitalnya fungsi ambulan, Ia sangat berharap ada pengadaan unit ambulan baru yang sesuai dengan kondisi dan medan berat di daerah terpencil.
Terkait masalah signal telepon, dr. Melissa mengatakan didaerah terpencil tersebut jaringan telekomunikasi sangat sulit, hanya ada satu provider yang bisa menembus lebatnya belantara.
“Itu pun hanya di titik – titik tertentu saja, ada spotnya, lepas dari lokasi tersebut sudah tak ada signal” ujarnya sambil tersenyum.
Penerangan ditempatnya bertugas perempuan berambut lurus ini mengatakan dari pagi hingga sore mereka memanfaatkan listrik yang bersumber dari PLTS (Solar Cell) dan malam hari penerangannya menggunakan Genset.
Untuk mengurangi kejenuhan, Ia dan rekan dokter partner kerja melakukan sistem sift.
“Siftnya setengah bulan sekali, kita bisa libur bergilir untuk ke kota (Tanjung)” imbuhnya.
Meskipun demikian, Ia menegaskan pelayanan kesehatan masyarakat tetap berjalan normal dan tidak terganggu.
Ditengah kondisi pandemi seperti sekarang, “turun” dari gunung ke kota nyatanya tak sepenuhnya bisa santai.
“Tidak juga libur, kita masih ada kegiatan membantu suntik vaksin” ucapnya sambil tersenyum.
Di sisi lain, Dokter ini juga berharap pemerintah daerah lewat instansi terkait bisa melakukan perbaikan pada Polindes sekaligus melengkapi peralatannya.
Ditanya apakah dengan jumlah dokter hanya dua orang saja sudah efektif dalam memberi pelayanan kesehatan pada warga Panaan, Dambung dan Hegermanah, perempuan berkacamata ini menjawab secara diplomatis.
“Secara pemetaan satu orang dokter melayani 5.000 warga, penduduk 3 wilayah tersebut jumlahnya tidak sampai 5.000 orang. Jadi dilihat skala penduduk analisanya sudah cukup. Namun dari sisi wilayahnya yang cukup luas dengan jarak tempuh yang membutuhkan waktu lama karena kondisi jalan yang penuh lumpur harusnya satu wilayah satu orang dokter” pungkasnya.(Boel)