Tahapan Kontestasi demokrasi atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 sebentar lagi dimulai. Genderang perang politik pun telah ditabuh. Para kandidat yang akan bertarung telah menakar kekuatan dan kelemahan lawan politik.
ADRENALIN politik dan sumber daya masing-masing kandidat telah disiagakan. Sumber daya sosial, politik, finansial, dan jaringan patronase telah dikalkulasi para kandidat. Kontestasi demokrasi adalah arena laga perang perebutan kekuasaan politik, ekonomi, dan gengsi politik.
Pengerahan sumber daya politik, ekonomi (kekuatan finansial), dan jaringan patronase adalah amunisi utama dalam memasuki medan lagi Pilkada. Medan laga Pilkada adalah menjadi arena angker dan menakutkan bagi mayoritas warga negara (politica citizen) di negeri.
Angker, kejam, sarat jaringan mafia politik dan kriminal politik,. Sebuah penggambaran realitas sosiologi politik dan demokrasi saat ini. Realitas kenyinyiran di tengah sanjungan dunia bahwa negeri ini adalah laboratorium terbesar demokrasi terbesar ke tiga pasca kekuasaan Orde Baru.
Seiring perjalanan waktu, Pilkada langsung sebagai anak kandung reformasi belum memperlihat kualiatas denokrasi, kualitas demokrasi melahirkan pemimpin daerah berintegritas dan bermartabat. Pilkada justru melahirkan pemimpin daerah yang terperangkap dalam elite cupture corruption. Penguasa daerah yang lahir dari proses demokrasi persekongkolan para aktor.
Sejatinya Pilkada menjadi arena membangun demokrasi justru bergeser menjadi arena transaksional para elite politik atau politik, dan aktor bisnis.
Kontestasi Pilkada selama ini tidak lebih sebagai arena pasar gelap yang mempertemukan kepentingan aktor politik dan bisnis. Oleh karena itu, dapat dipahami bila penguasa daerah yang terpilih lebih mengabdi kepada para cukong politik daripada mengabdi kepada rakyat. Inilah paradoks demokrasi, demokrasi yang dikendalikan para cukong
Pilkada mahal menjadi kesempatan para cukong, khususnya partai politik membangun politik transaksional, saling mempertukan sumber daya kekuasaan (power exchance Resouces) dan memperdagangkan pengaruh kekuasaan (power trading influence). Akibatnya, Pilkada sekadar melahirkan penguasa yang tersandera para oligarki yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Feodalisme dan oligarki kekuaaan tidak terhindarkan.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) rentan terjadi untuk melakukan kick back dan perburuanan rente ekonomi bagi penguasa.
Sejumlah penguasa daerah yang terpapar kasus korups sesungguhnya berkaitan erat dengan proses demokrasi. Proses demokrasi yang dekendalikan para oligarki telah menggunakan kuasa kapital untuk membajak demokrasi.
Pada sisi lain, partai politik seharusnya menjadi sarana demokrasi justru menjadi kartel layaknya perusahaan. Kartelisasi partai politik telah memandulkan demokrasi, demokrasi menopause. Para calon kepala daerah tentu saja akan berhitung ulang bila mau melamar partai politik sebagai kendaraan politik.
Akibatnya, hanya orang-orang yang memiliki kuasa modal saja yang bisa melamar partai politik. Ini fakta telanjang dalam realitas politik saat. Suatu realitas terstruktur di alam demokratisasi. Demokratisas yang diwarnai permainan politik uang dan pesekongkolan. Politik uang dan persekongkolan menjadi lingkaran setan dalam kegamangan berdemokrasi.
Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol dan tidak adanya keterbukaan dalam proses seleksi calon adalah menjamurnya praktek politik uang. Realitas ini tampak dari pengakuan beberapa bakal calon bahwa faktor terpenting untuk mendapatkan “perahu” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran mulai dari biaya “tiket” ke gabungan partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.
Untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon pilkada mau tidak mau harus dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar bagi parpol atau gabungan parpol melakukan seleksibakal calon kepala daerah ditingkat partai politik. Setidaknya rugulasi itu harus mengatur tentang :
1. Bagaimana system seleksi (apakah menggunakan metode konvensi atau lainnya),
2. Siapa panitia seleksinya,
3. Bagaimana standart penilaian (apakah menggunakan lembaga lain diluar partai), dan
4. Keharusan proses seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka