Oleh : Yuzan Noor, Dosen STIA dan STIT
Pesta politik pemilihan Kepala Daerah sudah berakhir, meski legal standing eksistensi kepala daerah terpilih masih menunggu Keputusan/kesediaan Presiden/ Menteri Dalam Negeri untuk melantik Gubernur/Wakil Gubernur Kepala Daerah Provinsi dan Gubernur Provinsi untuk melantik Bupati/Walikota dan wakil terpilih. Pesta tersebut sempat membuat kondisi “keterbelahan” masyarakat , namun sekarang kehidupan sosial politik sudah kembali kondusif. Tidak berlangsung lama, masyarakat khususnya di Kalimantan Selatan dikejutkan dengan rencana pemberlakuan kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ( BBNKB ). Betapa tidak, karena kenaikan pajak yang disebut dengan OPSEN tersebut, akan dirasakan dan ditanggung oleh semua lapisan masyarakat pemilik/pengguna kendaraan bermotor.
Opsen adalah “ pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu “, artinya objek pajak sudah dikenakan pajak, lalu atas pertimbangan tertentu objek tersebut ditambah lagi nilai pungutannya. Bagi pemerintah memungut pajak memang salah satu cara untuk membiayai kebutuhan pembangunan, dan wajib pajak adalah seluruh lapisan masyarakat yang memiliki objek pajak yaitu kendaraan bermotor. Serendah apapun strata orang dalam masyarakat, jika memiliki kendaraan bermotor maka tak bisa mengelak dari beban PKB/BBNKB.
Pembebanan PKB di berbagai negara bervariasi, ada yang tinggi pungutannya, seperti Singapura ( 140% ), Norwegia ( 100%-150% ) dan Swedia ( 50%-100% ), yang PKB sedang seperti Inggris dan Australia ( 20%-40% ), sedangkan negara yang pungutan PKBnya rendah adalah Uni Emirat Arab , Qatar dan Kuwait hanya 0%-5%. Satu-satunya negara yang membebaskan PKB adalah adalah Arab Saudi ( 0 % ). Bagaimana dengan negara kita Indonesia.?
Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tarif PKB adalah : Kendaraan roda dua 2 %, kendaraan roda empat (berpenumpang) 2,5%- 4%, kendaraan roda empat( barang) 3% – 5 %, kendaraan roda enam atau lebih 4% – 6 %. Untuk BBNKB : kendaraan roda dua sebesar 2%, kendaraan roda empat ( penumpang ) 2,5% – 5%, kendaraan roda empat ( barang ) 3% – 6 %, kendaraan roda enam atau lebih 4%- 7%.
Pengganti Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tersebut di atas adalah Undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sebenarnya dari ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 2022 tidak ada kenaikan PKB dari tarif dasarnya. Hanya di tegaskan bahwa tarif PKB maksimal 1,2% untuk kendaraan bermotor pertama, dan maksimal 6% untuk kendaraan kedua dan seterusnya ( ini yang dikenal dengan istilah pajak progresif ), namun untuk tarif BBNKB relatif ada kenaikan menjadi paling tinggi sebesar 12% ( dua belas persen ). Hal yang menjadi polemik dan kegalauan bagi wajib pajak adalah Opsen dari PKB dan BBNKB tersebut, dimana telah ditetapkan dalam pasal 83 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 bahwa Opsen PKB dan BBNKB sebesar 66% ( enam puluh enam persen ). Berdasarkan pasal 84 ( 1 ) ditegaskan bahwa “ Opsen dipungut secara bersamaan dengan pajak yang dikenakan opsen “, sehingga bila diakumulasi setiap kendaraan bermotor ( pertama ) akan dikenakan PKB sebesar 67,2% ( 1,2 % + 66% ) dan untuk BBNKB menjadi 78% ( 12% + 66% ).
Jika kita bandingkan dengan tarif PKB di negara lain ( tinggi, sedang atau rendah ), maka negara Indonesia akan termasuk memberlakukan tarif yang tinggi setara/bersama dengan negara Swedia yang mengenakan tarif PKB antara 50% – 100%. Dilihat dari esensi pengenaan pajak, maka salah satu tujuan utama pemungutan pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan layanan publik. Kemudian satu diantara 4 ( empat ) fungsi pajak adalah mengawasi kegiatan ekonomi dan mencegah penyalahgunaan, dan satu diantara 5 ( lima ) manfaat pajak adalah menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan. Demi menunjang kelangsungan aktifitas kehidupannya, masyarakat pemilik/ penguasa kendaraan bermotor sebagai subjek pajak suka atau tidak suka, pasti akan taat dan patuh terhadap ketentuan tentang pajak. Sebaliknya apakah dengan ketaatan dan kepatuhan tersebut , Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan pengenaan/pemungutan pajak akan mampu berlaku adil dan seimbang sesuai dengan tujuan utama, fungsi dan dan manfaat pajak yang dibayarkan oleh subjek pajak..? .
Setidaknya ada 7 ( tujuh ) jenis pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah Provinsi ( Pemprov ), yaitu : 1. PKB, 2. BBNKB, 3. Pajak Kepemilikan dan/atau Penguasaan Alat Berat ( PAB ), 4. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ( PBBKB ),5. Pajak Air Permukaan ( PAP ),6. Pajak Rokok, dan 7. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ( MBLB ). Sedangkan bagi pemerintah Kabupaten/Kota ( Pemkab/Kota ) dapat memungut 9 ( sembilan ) jenis pajak, adalah : 1. Pajak Bumi dan Bangunan-Pedesaan Perkotaan ( PBB-P2 ), 2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ), 3. Pajak Barang Jasa Tertentu ( PBJT ), 4. Pajak Reklame, 5. Pajak Air Tanah ( PAT ), 6. Pajak MBLB, 7. Pajak Sarang Burung Walet, 8. Opsen PKB, dan 9. Opsen BBNKB. Sejatinya pemberian kewenangan kepada Pemkab/kota untuk memungut opsen PKB dan opsen BBNKB merupakan pengalihan dari sistem bagi hasil pajak provinsi, hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian daerah tanpa menambah beban wajib pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai Pendapatan Asli Daerah ( PAD ), serta untuk lebih memberikan kepastian atas penerimaan pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut.
Untuk menjawab polemik dan kegalauan wajib pajak , Pemkab/kota harus mampu mengambil sikap , sehingga masyarakat ( wajib pajak ) dapat memahami urgensi adanya opsen PKB dan opsen BBNKB. Tindakan yang kiranya dapat dilakukan adalah melakukan sosialisasi bahwa pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB sangat memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat di daerah. Ketentuan mengenai pemberlakuan pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB dimulai tanggal 5 Januari 2025 dan peraturan pelaksananya ( Peraturan Pemerintah ) beserta Peraturan Daerah Kabupaten/kota juga sudah ada, seiring dengan itu suatu keharusan bagi Pemkab/kota punya data yang valid, rinci dan konkrit jumlah kendaraan bermotor di wilayah kabupaten/kota sehingga dapat mengetahui secara pasti potensi PKB dan BBNKB, yang pada gilirannya nanti pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB menghasilkan kontribusi yang signifikan dalam PAD.
Hal yang tidak kalah pentingnya, adalah analisis perhitungan kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) yang sejatinya meningkat dari tahun ke tahun. Selama ini rata-rata prosenstase kontribusi PAD Kabupaten/kota se kalimantan selatan terhadap APBD masing-masing hanya berkisar 7% – 13%, bahkan di tahun 2024 ada Kabupaten yang prosentase PADnya terhadap APBD hanya sebesar 5,6%. Keadaan itu menunjukkan bahwa struktur dan tumpuan APBD Kabupaten/Kota masih berharap kepada komponen Dana Transfer ( DT ) dari pusat, padahal ciri utama kemandirian daerah otonom adalah besarnya kontribusi PAD terhadap APBD. Sudah berjalan kurang lebih 20 ( dua puluh ) tahun otonomi daerah di letakkan pada daerah Kabupaten/kota, namun kemandirian tersebut belum juga menampakkan hasil yang menggembirakan.
Memungut opsen PKB dan opsen BBNKB, realitanya menambah beban ekonomi masyarakat karena terkesan pungutan ganda ( PKB dan BBNKB dipungut Pemprov, sedangkan opsennya dipungut pemkab/kota ) dan menjadi tantangan bagi Pemkab/kota untuk memberikan kesadaran kepada wajib pajak bahwa : hasil pungutan opsen PKB dan opsen BBNKB akan meningkatkan kualitas pelayanan publik di bidang urusan pembuatan/perpanjangan masa berlaku STNK/plat nomor, pembayaran PKB/tahun , kemudahan pengurusan Balik Nama Kendaraan Bermotor, bahkan sampai kepada manfaat pembangunan/perbaikan prasarana perhubungan ( jalan/jembatan ) yang menjadi katagori jalan provinsi/Kabupaten/Kota. Di samping itu dapat dipertimbangkan kebijakan kompensasi kepada masyarakat, yaitu pemberian insentif ( diskon ) bagi yang membayar PKB nya 15 ( lima belas ) hari sebelum jatuh tempo, atau tidak mengenakan denda bagi yang terlambat membayar sampai 15 ( lima belas ) hari , bahkan pemberian apresiasi berupa diskon 50% ( lima puluh persen ) kepada wajib PKB yang telah 3 ( tiga ) tahun berturut-turut taat membayar kewajibannya 15 ( lima belas ) hari sebelum jatuh tempo. Sejauh mungkin diupayakan jangan sampai terjadi resistensi dalam pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB, tidak boleh lagi terdengar suara-suara sumbang yang muncul bahwa “ pajak dinaikkan.., pelayanan mengecewakan.” Harus ada upaya menghapus stigma pelayanan di unit Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap ( SAMSAT ) yang belum sesuai harapan.
Keputusan penetapan pemberlakuan pungutan opsen PKB dan opsen BBNKB tergantung kepada sikap wisdom ( bijaksana ) Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, apakah menunda karena pertimbangan kondisi ekonomi masyarakat..? atau lebih pada menjaga imej sebagai Gubernur/Bupati/Walikota yang baru dilantik yang secara umum mengemban visi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan misi meningkatkan pelayanan publik. Akhirnya harapan semua pihak bahwa pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB tidak menjadi beban berat bagi wajib pajak , meningkatkan pelayanan urusan di SAMSAT, dan menambah pendapatan daerah untuk mendukung kesinambungan pembangunan daerah di Kabupaten/Kota. Semoga.