Sepanjang 2024 tercatat sebanyak 408.347 kasus perceraian di Indonesia. dua pemicu utama perceraian didominasi perselisihan hingga kekerasan dalam rumah tangga, ungkap Direktur Bina Ketahanan Remaja Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Edi Setiawan dilansir dari detik.com.
“Ini fakta yang kita dapat dari Kementerian Agama, ternyata kasus cerai itu disebabkan karena sebagian besar pertengkaran dan perselisihan dalam keluarga sebesar 61,7 persen, memang ada masalah ekonomi seperempat atau 20 persen-nya,” tandas Edi kepada wartawan, Jumat (21/2).
Bila dirinci lebih lanjut, ada temuan menarik yang mengaitkan perilaku ghosting dengan perceraian. Bahkan, angkanya relatif cukup tinggi hingga 8,4 persen.
Ghosting dalam laporan tersebut didefinisikan pada pihak yang ditinggal pergi tanpa ada kabar dalam kurun waktu yang lama. Terbanyak kedua, adalah kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni 1,3 persen.
Namun, Edi meyakini jumlah kasus bisa melampaui laporan yang tercatat, mengingat hanya sedikit dari pasangan yang berani mengadukan KDRT ke pihak berwajib.
“Yang terakhir adalah mabuk-mabukan, bahaya juga nih, artinya dia belum kenal dengan suaminya, suaminya mabuk-mabukan tapi sudah telanjur menikah karena itu kenali dulu pasangan kalian, karena menikah itu bukan soal tinggal bersama tetapi soal hidup bersama, bagaimana kita melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan pasangan kita,” lanjut Edi.
Di sisi lain, tingginya angka perceraian membuat banyak remaja memilih menunda menikah, sampai dirinya benar-benar siap secara mental, fisik, dan finansial. Sejalan dengan laporan perkawinan yang menurun dalam satu dekade terakhir.
Penurunan perkawinan otomatis berdampak pada menurunnya angka perceraian, 467 ribu kasus pada 2023 dan 516 ribu kasus pada 2022 menurut data Badan Pusat Statistik Nasional. (rel)