Oleh: Azkannisa Putri Ahmadina, Mahasiswa Akuntansi Bisnis Digital Semester 2 Politeknik Hasnur
Di era yang merayakan inovasi dan konektivitas tanpa batas, kita sering melupakan satu hal mendasar, bahwa tidak semua orang menikmati kemajuan teknologi dengan rasa aman. Terlebih bagi perempuan, dunia digital bukan sekedar ruang interaksi dan ekspresi, melainkan menjadi medan baru yang penuh ancaman. Identitas mereka yang hadir di layar tidak selalu mendapat perlakuan yang adil. Tubuh, suara, dan ekspresi mereka diekspos, dimodifikasi, dikomentari, bahkan dikomersialkan—sering kali tanpa persetujuan. Ketika identitas perempuan terekspos dan berinteraksi dengan fenomena kekerasan berbasis gender online (KBGO) di tengah kemajuan teknologi digital namun tidak diimbangi etika dan perlindungan hukum.
Kini Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjelma sebagai bentuk kekerasan yang paling sulit dilacak, tapi paling marak terjadi. Beberapa pengklasifikasian KBGO yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto/video pribadi, pencemaran nama baik, dan rekrutmen online. Ada algoritma yang memperkuat konten seksual, ada budaya yang menyalahkan korban, dan ada ketidakpekaan hukum terhadap kejahatan non-fisik di baliknya. Ini semua menjadi bukti kemajuan teknologi nyatanya tak selalu berjalan beriringan dengan kemajuan etika.
Perempuan dan anak-anak tergolong dalam kelompok rentan yang menjadi korban pelecehan seksual (Andaru, 2021). Sebanyak 7.815 laporan kasus KBGO sejak 2017 hingga 2024 sudah tercatat melalui sistem pengaduan online Komnas. Meskipun data dan kasus demi kasus menunjukkan demikian, respons sosial dan hukum sering kali tertinggal. Masih banyak korban KBGO yang tidak melapor karena takut distigma, tidak dipercaya, atau lebih buruk—disalahkan. Sebagian masyarakat pun masih memandang kekerasan digital sebagai “bukan kekerasan yang sebenarnya” karena tak meninggalkan luka fisik. Nyatanya dampak pada kesehatan mental, reputasi, bahkan masa depan korban sangat nyata.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila dengan sila kedua yang menekankan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” seharusnya kita merasa terusik dan tidak diam saja. Ketika perempuan tidak merasa aman bahkan di ruang yang katanya netral dan terbuka, maka nilai-nilai kemanusiaan itu sedang mengalami kemunduran. Negara hadir dalam bentuk undang-undang, namun implementasinya kerap lambat, tidak responsif, dan masih bias gender.
Beberapa upaya seperti UU ITE dan UU TPKS memang sudah ada, tapi belum sepenuhnya menjangkau kompleksitas dunia digital. Pada saat yang bersamaan, platform media sosial global belum memiliki standar perlindungan yang berpihak pada korban, terutama dalam konteks lokal Indonesia yang masih dibatasi dengan norma sosial yang konservatif dan patriarkal.
Di saat hukum dan teknologi belum mampu melindungi korban secara penuh, maka nilai-nilai fundamental bangsa perlu dijadikan pijakan dalam upaya menegakkan keadilan. Kekerasan terhadap perempuan, tidak terkecuali secara digital, mencederai nilai spiritual yang mengajarkan penghormatan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Tuhan. Saat perempuan tidak merasa aman mengekspresikan diri secara digital, hak-hak dasar mereka untuk mendapatkan perlakuan yang setara dan bermatabat sebagai manusia juga telah direduksi. Dalam ruang digital yang seharusnya inklusif dan tanpa diskriminasi, perempuan kerap mengalami eksklusi sosial akibat kekerasan dan penghakiman berbasis gender. Ketika ruang ekspresi kelompok tertentu terus-menerus menjadi target intimidasi, kekerasan, dan pengucilan, maka solidaritas sebagai bangsa pun ikut tergerus. Suara korban kekerasan digital yang diabaikan dan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan menjadi bukti bahwa nilai kebijaksanaan bersama telah ditinggalkan.
Saat perempuan merasa terancam di dunia digital, ketika korban kekerasan justru malah disalahkan, didiskriminasi dan sistem hukum belum mampu merespons secara adil, maka keadilan sosial belum benar-benar hadir. Dan memang dalam praktiknya perempuan masih sering kali mendapatkan ketimpangan akses terhadap keadilan dan perlindungan serta rasa aman.
Penguatan Regulasi dan Implementasi Hukum dari Pemerintah dengan memperkuat dan memperjelas implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU ITE saat ini sangat diperlukan agar secara eksplisit menjangkau kasus-kasus kekerasan digital berbasis gender. Negara perlu mengambil peran aktif melalui penguatan kapasitas aparat penegak hukum lewat pelatihan berbasis sensitivitas gender dan literasi digital, serta pelibatan korban, komunitas perempuan, dan akademisi dalam penyusunan kebijakan digital yang berpihak pada korban dalam menindak pelaku untuk menjamin keadilan dalam konteks ruang digital, bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga dengan mekanisme perlindungan dan edukasi yang inklusif.
Perlu adanya pembentukan mekanisme pelaporan daring yang mudah, aman, dan berpihak pada korban, termasuk perlindungan identitas pelapor.
Kampanye Anti-Kekerasan Digital oleh Komunitas dan Influencer juga sangat dibutuhkan. Aktivis dan kreator konten bisa memainkan peran penting sebagai agen perubahan, menciptakan narasi positif tentang perlindungan korban dan penguatan nilai-nilai kesetaraan.
Kampus, lembaga pendidikan, komunitas digital, bahkan media kampus juga punya peran besar dalam memperkuat literasi digital yang berbasis gender. Literasi yang tidak hanya mengajarkan cara pakai teknologi, tapi juga bagaimana menggunakannya dengan adab dan kesadaran sosial.
Kekerasan terhadap perempuan di ruang digital lebih dari sekadar isu teknologi atau hukum. Ia juga merupakan persoalan ideologis yang menyentuh nilai dasar bangsa yaitu Pancasila. Lebih dari sekadar simbol normatif, Pancasila seharusnya hadir sebagai panduan etika dan tindakan nyata dalam menata kehidupan bangsa, terutama ketika persoalan sosial semakin kompleks, yang di antaranya disebabkan oleh kemajuan teknologi digital.
Perempuan bukan hanya korban, tapi juga aktor penting dalam dunia digital. Mereka mencipta, berbagi, mengedukasi, dan membangun komunitas. Ketika mereka tidak mendapatkan perlindungan dan rasa aman maka nilai-nilai Pancasila mengalami krisis aktualisasi. Etika digital yang berkeadilan tidak mungkin tumbuh di masyarakat yang masih menyalahkan perempuan atas kekerasan yang mereka alami. Pancasila semestinya tidak hanya berhenti sebagai simbolik, melainkan harus benar-benar hadir sebagai pijakan kebijakan, etika publik, dan kompas moral di tengah transformasi digital yang menjamin keadilan, keberadaban, dan rasa aman bagi semua, termasuk perempuan. Di tengah kemajuan teknologi, etika, empati, dan keberpihakan terhadap yang rentan adalah tanda sejati dari masyarakat yang beradab.
Daftar Pustaka
Komnas Perempuan – Opini “Refleksi Penanganan KBGO” (2024)
Khudin, M., & Dharojah, R. W. (2025). Cyberculture dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO): Definisi dan Hubungan. ARIMA. Jurnal Sosial dan Humaniora, 2(3), 41–46.
Munawwarah, S. (2024). Kekerasan Berbasis Gender di Era Digital: Tantangan Baru Bagi Perempuan. Jurnal Tana Mana, 6(1).
Yanti, A. R., & Nasution, M. I. P. (2025). Mengatasi Kekerasan Berbasis Gender di Era Digital: Peran Pemerintah dan Teknologi dalam Upaya Perlindungan Perempuan. Jurnal Res Justitia, 5(1), 38–53.
Samosir, C. P. (2023). Kekerasan Berbasis Gender Online dan Cara Mendukung Korban: Analisis Konten Film Like and Share. Jurnal PIKMA, 6(1).
Rachmaria, L., & Susanto, A. (2024). Potensi Kekerasan Gender Berbasis Online pada Penyalahgunaan Teknologi Kecerdasan Buatan bagi Perempuan di Media. Jurnal Netnografi Komunikasi, 2(2), 91–104.
Handayani, T. (2022). Urgensi Etika Digital dalam Masyarakat Teknologi Tinggi. Jurnal Etika dan Filsafat, 6(2), 85–98.
Andaru, R. S. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Perspektif UU TPKS. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 51(3), 355–371.
Rachmah, A. (2021). Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan di Media Sosial dan Implikasinya terhadap Relasi Kuasa. Jurnal Komunikasi & Gender, 8(1), 45–60.






























































