Oleh : Mila Wahyuni, Ilis Kandarisah dan Tuti Handayani Mahasiswa Program Studi Magister PAUD Program Pasca Sarjana Universitas Panca Sakti Bekasi Tahun 2023
Akal adalah sebagai upaya untuk berpikir yang khusus dimiliki oleh manusia, sedangkan iman adalah termasuk masalah yang banyak dibahas dalam teologi Islam, disamping membahas masalah ketuhanan, kenabian, maupun yang menyangkut sistem eskatologi (keakhiratan). Maka akal berperan sebagai alat berpikir dan iman sebagai penentu dalam mengeksplorasi sikap dan tingkah laku manusia di atas permukaan bumi ini. Oleh karena itu, setiap orang (Islam) yang ingin mempelajari Islam secara mendalam, harus memahami iman terlebih dahulu, agar dapat memantapkan kepercayaan yang dianutnya dengan melalui akal pikirannya untuk menghilangkan keraguan yang melekat dihatinya.
Permasalahan disekitar iman, semakin berkembang dan kompleks mulai sekitar abad ke-2 Hijriyah dengan munculnya berbagai pendapat baik dari aliran atau golongan dikalangan para ulama. Para ulama kalam (Mutakallimin), memberikan batasan dan pengertian yang berbeda tentang iman. Perbedaan rumusan tentang iman dari para ulama, berkisar antara peranan akal dan bagaimana hubungan iman seseorang dengan amal perbuatan yang dilakukannya. Mu’tazilah misalnya, mengatakan bahwa iman tidak hanya tasdiq saja, melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, sementara al-Asy’ari mengatakan bahwa I iman hanya tasdiq dan bukan hanya pembenaran dalam hati, tetapi juga berbentuk pengalaman jasmani, dan tasdiq yang dimaksud al-Asy’ari adalah pembenaran tentang apa yang didengar dari wahyu
Al-Maturidi berpendapat bahwa iman adalah tasdiq dan bukan lisan (ucapan). Tasdiq yang dipahami oleh al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah, yaitu tasdiq yang dihasilkan dari penjelajahan al-aql bukan semata-mata berdasarkan al-sam’u. 1 Korelasi dari pendapat al-Maturidi ditunjukkan dalam QS. al-Baqarah/2:260
Terjemahnya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).”
Jadi, iman itu tidaklah cukup hanya dengan perkataan semata-mata sementara hati tidak beriman. Apa yang diucapkan akan dicerna oleh akal budi, dan akan menjadi batal apabila hati tidak mengakui apa yang diucapkan itu. Oleh karena itu iman bukan saja sekedar pernyataan lidah semata, tetapi iman harus sampai pada tingkat yang kuat tanpa dipengaruhi oleh kebimbangan dan keraguan.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (selanjutnya disebut Hamka) adalah salah seorang pemikir Islam yang mengemukakan bahwa akal merupakan anugrah Tuhan yang dimiliki oleh manusia, karena itu, manusia wajib beriman kepada Allah sesuai dengan kemampuan akalnya.
Akal merupakan suatu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yang dapat mengetahui sesuatu yang halal dan haram serta baik dan buruk. Hamka berpendapat seperti itu berdasarkan teologi kalam yang membahas masalah akal dan wahyu, karena akal merupakan alat yang dimiliki oleh manusia sedangkan wahyu itu di imani oleh manusia yang menjadi sumber pengetahuan itu sendiri.
Oleh sebab itu manusia wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu, karena manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui kekufuran itu haram. Karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah, manusia mampu mengetahui bahwa beriman kepada Allah itu adalah wajib, juga dinyatakan bahwa terdapat perbedaan antara orang yang berakal dengan orang yang tidak berakal, seperti perbedaan antara orang yang buta dengan orang yang tuli. Hamka menegaskan dalam kitab tafsir al-Azhar, bahwa iman adalah ucapan (al-qawl) dan perbuatan (al-‘amal), sehingga didefinisikaniman itu sebagai :
Artinya: Iman itu adalah kata dan perbuatan, lantaran itu ia bisa betambah dan berkurang. Dengan menyebut unsur perkataan dan pebuatan dalam mendefinisikan tentang iman, disini sangat jelas alur pemikiran Mu’tazilah sebagai aliran kalam rasional dalam islam. Mu’tazilah sangat mementingkan kekuatan akal dalam menentukan kualitas iman seseorang, bukan sekedar tasdiq (pembenaran tentang apa yang didengar) tetapi juga ma’rifah (mengetahui benar apa yang diyakininya), serta meningkat pada amal perbuatan.
Dari ungkapan di atas, telah tampak bahwa iman yang dimaksud oleh Hamka, bukan hanya sekedar pengakuan dengan lidah seseorang atau yang diperkuat dengan pembenaran dalam hati, melainkan disertai dengan pelaksanaan, yang terbukti dengan perbuatan sebagaimana yang diucapkan oleh lidah, sekaligus menjadi keyakinan hidup manusia. Sedangkan akal memiliki kebebasan dan kehendak dalam berbuat. Olehnya itu, apapun yang terjadi pada manusia, merupakan kehendaknya, bahkan kafir dan mukminnya seseorang ditentukan oleh manusia itu sendiri, yang baik dan buruk, mana yang mudarat dan mana yang bermanfaat.
Pengertian Iman Dalam Pandangan Islam
Page 1 of 2