Oleh : YUZAN NOOR, Dosen STIA dan STIT Tabalong
Dalam sebuah daulah (negara), eksistensi Umara, Ulama dan Umat tidak dapat dipisahkan. Tiga komponan tersebut merupakan Triple power untuk menjaga kesinambungan dan kejayaan suatu pemerintahahan negara. Apabila masing-masing triple power itu berfungsi dan berperan maksimal, profesional dan proporsional, maka dapat dijamin bahwa keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan keadilan serta kemakmuran rakyat sebagai tujuan pemerintahan negara akan terwujud.
Dalam terminologi islam disebut dengan negara yang Baldatun Thaybatun Warabbun Ghafur, dan dalam bahasa jawa/sangskerta Tata tentrem kerta raharja gemah ripah loh jinawi.
Sejarah perjalanan pemerintahan di banyak negara menunjukkan bahwa tujuan pemerintahan negara tersebut masih jauh dari harapan, meski ada sedikit negara yang mau dan relative mampu mendekati tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi warganya.
Pada level yang lebih rendah konteks dan keberadaan triple power juga diperlukan dan dirasakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peran Umara (kepala daerah) misalnya, di dalam sistem pemerintahan di daerah sudah sedemikian kuat dan jayanya, sehingga para pakar pemerintahan sering menyebut Kepala Daerah sebagai Raja Kecil yang memiliki kekuasaan dan kekayaan relatif besar. Kemudian para Ulama yang notabene merupakan sosok panutan disebut sebagai waratsatul Anbiya (sarat dengan akal, ilmu agama, kesucian hati nurani, kebijaksanaannya dalam membangun/ membimbing akhlak/moral masyarakat). Sedangkan Umat adalah objek kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Meski sebagai objek, Umat merupakan kuantitas terbesar dari ketiga triple power tersebut. Satu kondisi negara/daerah bisa saja terjadi perubahan drastis jika Umat (rakyat) yang bersangkutan serempak bergerak (people power) menginginkan perubahan/pembaharuan.
Dengan demikian asumsi dan harapannya adalah : ketiga komponen triple power dimaksud mempunyai kekuatan masing-masing yang sejatinya memberikan kontribusi demi tercapainya masyarakat adil makmur dan sejahtera.
Terjadinya interaksi dan interdependensi antara triple power tersebut semakin terlihat dengan bergulirnya musim Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak di Indonesia yang akan digelar tanggal 27 Nopember 2024 mendatang, yang secara nyata atau samar-samar, langsung atau tidak langsung melibatkan mereka. Fenomena kekuatan dan keterlibatan masing masing-masing komponen dapat diidentifikasi sebagai berikut :
Bagi Umara (Kepala Daerah Petahana) pada umumnya masih berambisi untuk kembali duduk sebagai penguasa, dengan alasan/tujuan ingin melanjutkan/menyelesaikan pengabdian kepada daerah, karena memang peraturan perundang-undangan memberikan peluang. Dengan kapasitas sebagai Raja Kecil tentu banyak program kegiatan dan dengan mudah meluncurkan jurus/strategi jitu untuk memberikan pemahaman kepada Umat bahwa dia telah dan sedang berbuat yang terbaik dan akan terus menebar janji untuk meningkatkan kinerja terbaiknya pada masa jabatan berikutnya. Lebih dari itu jurus dan janji yang dijalankan semakin mudah bagi seorang Petahana karena memiliki kewenangan memimpin dan mengendalikan jaringan birokrasi sampai ke tingkat terendah. Jurus/strategi bagi Petahana lazim dikemas dalam bentuk Bantuan Sosial berupa : sumbangan, infaq, amal sedekah, uang pembinaan, insentif, tunjangan dan wujud lainnya. Ilustrasi yang mirip, berlaku juga bagi bakal calon kepala daerah yang berasal dari Birokrasi, tentu saja dalam kapasitas dan lingkup yang sangat terbatas. Bagi Kepala Daerah yang tidak berpeluang lagi, biasanya sudah menyiapkan “ahli waris jabatan” baik dalam lingkungan keluarga sendiri, atau dari luar yang pasti dengan bargaining dan konsensus tertentu.
Bagi Ulama, baik yang beralih menjadi Politisi atau yang berstatus ganda (ulama/Tuan Guru sekaligus politisi), maka aroma Pilkada bagai musim panen durian, karena banyak kesempatan, moment dan kiat yang dapat dilakukan baik sengaja atau sekedar “kebetulan” untuk mendulang nilai/manfaat atas hasil “kolaborasi“ dengan Umara, sehingga wajar jika hal itu dapat menambah gemerlap pamor ulama di mata Umat. Kedua komponen dimaksud (umara dan ulama) sama-sama punya kepentingan/keinginan (take and give), hanya saja hal itu apakah akan membawa umat kearah perbaikan dan kemaslahatan? Umat jualah yang menjawabnya. Pengecualian dalam komponen ini adalah Ulama yang istiqamah dengan posisinya sebagai pemimpin agama yang semata mata untuk membawa umat kejalan kebenaran dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
Bagi Umat, interaksi dan interdependensi dengan umara dan ulama adalah sesuatu keniscayaan. Kepada umara hubungan ketergantungan umat adakah sepanjang harapan agar “kue Pembangunan“ yang dirancang, dimasak dan disajikan oleh umara dapat dinikmati sesuai dengan kebutuhan umat (dan kalau bisa kue dimaksud mampu memuaskan umat). Wujud kue pembangunan tersebut antara lain : pengadaan dan peningkatan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, prasarana /sarana social/kesehatan/pendidikan/keagamaan/perekonomian) dan fasilitas lainnya. Dalam rangka mengemban tugas dan menjalankan kewajiban menyajikan kue pembangunan itulah, wajar jika sang umara mengharapkan kompensasi dari umat agar mendukung semua kegiatan pembangunan termasuk dukungan jika sang umara yang sedang berkuasa ingin kembali melanjutkan tahtanya.
Kepada ulama, yang dinobatkan sebagai penerus dan pewaris para nabi, maka hubungan dan ketergantungan umat adalah dalam rangka pembimbingan, pembinaan, penguatan dan pemantapan nilai-nilai moral religius oleh ulama sehingga hidup senantiasa berisi dengan ibadah dan pengabdian kepada Allah Subhannahu wata’ala, serta terjaga dari hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Dengan penobatan seperti itu bagi umat (abangan/awam) membawa konsekuensi harus tanpa tedeng aling-aling taat dan patuh pada titah ulama termasuk “fatwa“ hasil konspirasi dengan umara agar mendukung si Fulan (petahana atau birokrat lainnya) untuk menjadi Kepala Daerah.
Identifikasi dan ilustrasi tersebut di atas dapat terbantahkan, jika :
UMARA , dalam menjalankan fungsi dan perannya selalu berpegang kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, berlaku adil dan bijaksana kepada bawahan dan rakyatnya, tidak mementingkan diri sendiri/keluarga/kelompoknya dan tidak menzalimi orang lain serta tidak melakukan konspirasi dengan ulama untuk mengelabui umat.
ULAMA, Jangan merubah status dirinya menjadi politisi dan tidak berperan ganda sebagai ulama sekaligus sebagai politisi, karena status dan peran dimaksud akan rentan dimanipulasi oleh umara yang ambisius untuk mendapatkan/melanjutkan kekuasaan. Tetaplah istiqamah sebagai ulama kultural, meski hidup sederhana dan bersahaja, Insya Allah tetap disenangi/ dipuja oleh massa (umat) dan akan dibalasNYA dengan surga. Jikapun dalam suatu kondisi dan pertimbangan yang matang harus ikut (“terpaksa“) dalam kancah perpolitikan, sejatinya melepas statusnya sebagai ulama.
UMAT, mau dan mampu berfikir logis rasional, jangan fanatik buta. Tidak silau dan terpesona dengan segunung janji dan segenggam bukti yang dijadikan umpan oleh umara/ulama yang berambisi. Tidak terlena dan terbuai dengan ayat-ayat Al- qur’an/ hadits yang dijualbelikan. Jadilah umat yang cerdas dan bijak, sehingga mampu memilah dan memilih mana Umara (calon kepala daerah ) yang memiliki kapabilitas, religius dan berintegritas? serta mana ulama yang lurus mengajarkan dan membimbing umat berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunah.
Demikian kiranya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umat, harus ada kerjasama dan keharmonisan antara umara, ulama dan umat dalam koridor profesionalitas dan proporsionalitas, sehingga ketiga komponen dapat hidup dalam simbiosis mutualisme. Semoga.