Di akhir Mei 2025, tragedi memilukan mengguncang bangsa kita ketika seorang bocah SD kelas II di Indragiri Hulu, Riau, berusia 8 tahun, meninggal dunia setelah diduga dianiaya dan dibully oleh teman-teman sekelasnya. Kasus ini bukan hanya sekadar berita duka, tetapi juga cerminan dari masalah yang lebih besar yang telah mengakar dalam masyarakat kita. Anak tersebut dipukul berulang kali dan dihina secara verbal hanya karena perbedaan agama dan suku. Ia akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 26 Mei 2025, setelah sempat dirawat di rumah sakit. Kejadian ini menunjukkan bahwa anak yang seharusnya berada dalam taman bermain, justru menjadi korban kekejaman yang tidak seharusnya terjadi di lingkungan pendidikan.
Kejadian tragis ini menggarisbawahi fakta pahit bahwa perundungan (bullying) di sekolah bukanlah kasus baru. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat puluhan kasus serupa, termasuk 17 peristiwa sepanjang 2021, dan di antaranya seorang siswa MTs berinisial Bintang (13 tahun) meninggal akibat disiksa teman-teman sekolahnya pada 2022. Rangkaian kasus ini memperlihatkan kegagalan kita dalam melindungi anak-anak dari kekerasan. Kekerasan atas nama kesamaan kelas atau “tradisi” tidak pernah dibenarkan; ia justru mencoreng nilai-nilai luhur yang seharusnya kita pegang teguh.
Sikap kekerasan semacam ini bertentangan dengan sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Pancasila menuntut kita saling menghormati harkat martabat setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, atau agama. Bullying jelas menodai semangat tersebut. Sebuah kajian menegaskan bahwa “kasus bullying dianggap sebagai pelanggaran sila ke-2 Pancasila karena hak dan martabat seseorang tidak dihargai”. Apakah kita rela melihat anak bangsa dilukai, bahkan nyawanya direnggut, hanya karena identitasnya berbeda? Tindakan ini adalah kenyataan memalukan yang mengingkari nilai kemanusiaan yang kita junjung.
Lebih jauh, kekerasan berbasis perbedaan identitas itu juga melukai sila kelima Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Prinsip ini menekankan rasa keadilan dan kesejahteraan untuk setiap warga negara. Namun dalam kasus ini, keadilan sepenuhnya belum ditegakkan: seorang bocah harus membayar nyawanya, sementara pelaku perundungan masih harus diproses menurut hukum. Bukankah keadilan menuntut agar setiap anak dapat belajar di lingkungan yang aman, setara, dan tanpa rasa takut? Sudah semestinya korban mendapat perlakuan setimpal, bukan justru korbannya yang terbengkalai.
Berbagai pihak kini bergerak memastikan pelanggaran semacam ini tak diabaikan. Kementerian HAM memantau kasus ini secara serius dan mendesak agar keadilan ditegakkan sepenuhnya. Kepala Kanwil HAM Sumatera Barat, Dewi Nofyenti, bahkan menegaskan bahwa peristiwa ini adalah “pukulan bagi kemanusiaan” yang tidak dapat dianggap remeh. DPR juga menyoroti pentingnya penempatan guru agama dari kelompok minoritas di setiap sekolah agar anak-anak berbeda keyakinan mendapat perhatian dan perlindungan. Semua upaya ini menunjukkan bahwa sekolah, sebagai tempat pendidikan, wajib menjadi lingkungan yang menguatkan rasa hormat dan keadilan—bukan sebaliknya menabur kekerasan.
Kita, sebagai bagian dari bangsa Pancasila, tidak boleh tinggal diam. Sekolah harus kembali menjadi pangkalan nilai Pancasila, tempat menabur toleransi dan solidaritas antar anak bangsa. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu untuk para pelaku, agar ada efek jera nyata. Orang tua dan guru wajib memberi teladan, mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan alasan permusuhan. Pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan empati harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan kita.
Akhirnya, pelajaran penting yang harus kita ambil adalah ini: Bullying bukanlah tradisi bangsa kita, melainkan pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Semangat Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila mensyaratkan keadilan dan kasih sayang antar sesama; jika nilai-nilai itu dilanggar, maka kita telah mengkhianati sendiri jati diri bangsa. Marilah kita tegakkan keadilan dan tanamkan kembali nilai kemanusiaan kepada generasi muda. Hanya dengan itu, kita memastikan tiap anak Indonesia tumbuh di lingkungan yang aman, menghormati hak hidup dan harkat setiap sesama anak bangsa.
Kita harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, di mana setiap anak merasa aman dan dihargai. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sekolah, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Mari kita bersatu untuk melawan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Dengan melakukan hal ini, kita tidak hanya melindungi mereka, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk masyarakat yang lebih adil dan beradab.






























































