Ngopi, alias minum kopi sambil berbincang santai menjadi salah satu budaya atau tren anak muda di zaman sekarang yang tumbuh subur hampir disemua daerah, termasuk di Bumi Saraba Kawa.
Kopi tak lagi hanya identik dikonsumsi oleh orang tua, namun sekarang juga mulai digemari anak muda hampir di semua kalangan.
Beberapa tahun terakhir khususnya di Tabalong, tumbuh bak jamur dimusim penghujan cafe – cafe yang menyajikan berbagai jenis olahan minuman berbahan kopi.
Pada umumnya, ada dua jenis kopi yang lumrah kita dengar dan biasa disajikan maupun dibudidayakan oleh petani kopi; Robusta dan Arabica.
Padahal ada salah satu jenis kopi yang juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan khususnya di Tabalong yakni kopi jenis Liberica, jenis kopi yang berasal dari Liberia, negara yang ada di benua Afrika.
Ketua yayasan Tabalong Research, Advocation and Foundation (Taraf) Borneo Selatan, Erwan Susandi menuturkan kopi Liberica sendiri banyak dibudidayakan petani di Malaysia dan diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900 an.
“Di Tabalong sendiri kopi jenis Liberica masuk sekitar lima tahunan yang lalu” terangnya pada kontrasX.com.
Erwan mengatakan awalnya bibit kopi Liberica yang ditanam merupakan bantuan dari Dinas Kehutanan Kabupaten sebelum kewenangannya “ditarik” oleh pemerintah provinsi.
“Bantuan bibit sebanyak 5.000 pohon diberikan pada kelompok tani yang ada di desa Santuun kecamatan Muara Uya” ungkapnya. Bibit tersebut ditanam dilahan seluas 25 ha.
Dalam satu hektar lahan, bibit kopi bisa ditanam sebanyak 300 hingga 400 pohon. Panen raya kopi biasanya dilakukan di bulan Juni, Juli dan Agustus untuk satu periode musim panen. Menariknya, tanaman kopi bagus dijadikan sebagai tanaman sela.
Sayangnya, sambung pria yang juga aktivis LSM ini lagi, instansi terkait tidak melakukan pembinaan sebagaimana mestinya. “Setelah bibit ditanam oleh petani, dinas terkait tidak melakukan pendampingan maupun pembinaan” ujarnya menyayangkan.
Tak hanya “dianak tirikan” petani kopi Santuun juga relatif kesusahan memasarkan hasil panennya. “Kopi yang dihasilkan dijual kepada pengepul dengan harga terbilang murah, bahkan katanya biji kopi pernah di jual petani seharga Rp 7.500 per kilogram” timpalnya.
Atas keprihatinan ini, pria berambut gondrong ini bersama rekan – rekannya di Taraf berinisiatif melakukan pendampingan hingga membantu pemasaran.
“Petani kita dampingi bagaimana cara memetik kopi yang benar, perlakuan pasca panen hingga menyerap produksi mereka” bebernya.
Mendapat “bimbingan” dari yayasan Taraf, akunya, petani kopi Liberica Santuun dua tahun terakhir ini kembali bersemangat merawat dan memelihara tanaman kopi yang sempat terbengkalai.
“Kami ingin petani kopi bisa sejahtera, hasil dari kopi bisa menjadi penghasilan tambahan selain hasil sadap karet” imbuhnya.
Tak hanya mendampingi petani, bersama rekannya Erwan juga membeli hasil panen kelompok tani. “Kami siap membeli hasil panen petani tetapi dengan kualitas tertentu, buah yang dipetik harus yang benar – benar matang, tujuannya untuk menjaga kualitas” tegasnya.
Ia juga mengedukasi petani agar buah yang masih mentah jangan di panen karena akan membuat harga jual jatuh.
“Kalau pengepul tak mempersoalkan buahnya campur aduk antara yang sudah matang dan yang mentah karena dengan begitu mereka bisa membelinya dengan harga murah. Kita tidak mau, kita ingin petani bisa mendapatkan harga yang layak” tandasnya.
Dari petani, mereka membeli Liberica baru petik (basah) seharga Rp 10.000 per kilogram dan beli dalam kondisi kering dengan standar tertentu Rp 40.000 per kg.
“Kulit liberica relatif tebal, kadar susutnya lebih tinggi dibanding kopi jenis lainnya. 40 kg basah setelah dikeringkan beratnya hanya sekitar 4 hingga 5 kg saja lagi” terangnya.
Proses pengolahan kopi
Ternyata, banyak faktor yang harus diperhatikan agar cita rasa kopi benar – benar terjaga. Mulai dari pemilahan biji kopi, penjemuran, penyimpanan hingga Roasting (sangrai).
Erwan menceritakan prosesnya, kopi yang baru dibeli di cuci bersih kemudian di sortir. Penyortitran berdasarkan biji kopi yang timbul dan tenggelam dan berdasarkan warna. Penjemuran memakan waktu 3 hingga 5 hari. “Tergantung cuaca, panasnya kisaran di 31 derajat celcius” imbuhnya.
Setelah dijemur kopi digiling untuk melepas cangkang kulit hingga menjadi Green Bean, kemudian disortir lagi berdasarkan warna dan ukuran besar – kecilnya biji, tahap selanjutnya baru roasting.
“Setelah roasting disortir lagi berdasarkan warna” ucapnya sambil tersenyum lebar.
Proses penyimpanan green been ataupun roasting harus hati -hati dan disesuaikan kelembapan ruangan/gudang.
Sambil menyeruput seduhan kopi dan menghembuskan asap rokok Ia melanjutkan ceritanya. Semua proses pengolahan pun diakuinya masing menggunakan peralatan manual.
”Prosesnya masih manual, maklum kekurangan modal, harga peralatan masih terbilang mahal bagi kami” ujarnya sambil tertawa.
Prospek usaha kopi Liberica Tabalong
Saat berbincang di “Rungkop” yang beralamat di jalan Basuki Rahmat RT.06 kelurahan Hikun, Erwan memaparkan pihaknya sudah”menguji” kualitas kopi Liberica Tabalong pada salah seorang Barista ternama di Banjarbaru yang sudah “melahirkan” banyak Barista jua.
“Awalnya tidak begitu direspon, tetapi setelah kita desak agar bersedia mencoba untuk diolah, yang bersangkutan terkejut melihat hasilnya dalam bentuk seduhan, termasuk rasanya” bebernya.
“kopi setelah diproses dan jadi seduhan balance antara kremer/buihnya, indo dan ampasnya dikisaran 1 cm, walaupun ditambah air, presisinya tetap tidak berubah. Kondisi ini hanya terjadi untuk kopi kualitas tertentu saja. Yang khas dari Liberica Tabalong adalah tidak ada rasa Sepatnya, ini diakui oleh Barista tersebut” sambungnya.
Melihat kualitas kopi Liberica Tabalong, Barista tersebut siap mengordernya. Bahkan, sambung Erwan, beberapa pemilik Cafe dan barista dari luar daerah yang tergabung dalam komunikasi grup siap membeli produk Liberica yang dikenalkannya.
Armadi, rekan Erwan di yayasan Taraf menambahkan, sudah ada permintaan dari luar negeri. “Ada yang dari Korea Selatan dan Arab Saudi, mereka ingin kerjasama dengan minta pasokan dalam jumlah banyak, beberapa ton per bulan, kita tidak berani” jelasnya.
Dari Jerman, sambungnya, menyukai kopi liberica karena menurut mereka ada sensasi rasa kacangnya. “Kairo minta sample, kita tidak berani mengirim karena dihulunya masih bermasalah” timpalnya.
Hal senada juga disampaikan Erwan. Produksi kopi Liberica Tabalong di Santuun masih relatif kecil. “Produksinya masih sedikit, tidak mungkin mampu memenuhi permintaan berlangganan dari pembeli dalam jumlah banyak” ungkapnya.
Ke depan, Erwan juga berharap kopi Liberica bisa menjadi produk kopi khas Tabalong dan bisa di kenal luas oleh khalayak pecinta kopi. “Saya berharap nantinya Liberica Tabalong menjadi salah satu produk khas atau unggulan daerah kita. Sepanjang pengetahuan saya, sementara ini di Kalsel sendiri yang memiliki tanaman kopi Liberica hanya di daerah Bati – Bati dan Tabalong saja” ungkapnya lagi.
Erwan menyampikan di lidah penikmat kopi, Liberica memiliki cita rasa yang khas.
”Rasanya berbeda dengan Robusta dan Arabica, tidak terlalu pahit dan ada sedikit sensasi manisnya. Ada yang mengatakan Liberica merupakan persilangan antara dua kopi tersebut (Rubusta dan Arabica), kadar asamnya juga relatif rendah. Khasnya Liberica di daerah kita tidak ada sepatnya” jelasnya.
Menariknya, kopi Liberica cocok ditanam di daerah dataran yang tidak terlalu tinggi seperti di Tabalong.
“Kopi ini tumbuh baik diketinggian kurang dari 750 meter dari permukaan laut (mdpl), artinya potensi pengembangan di Tabalong masih memungkinkan dan terbuka lebar” pungkasnya.
Tertarik ingin menikmati seduhan kopi Liberica Tabalong ? silakan mampir ke Rungkop yang berada di jalan Basuki Rahmat RT.06 kelurahan Hikun, persisnya sekitar 100 meter dari pertigaan arah ke desa Kambitin.
Tak hanya menyajikan seduhan kopi hitam saja, aneka olahan minuman campuran kopi juga tersedia, termasuk es susu kopi sirup air kelapa patut anda coba.(boel)