Di Bumi Saraba Kawa, mungkin dapat dihitung dengan jari warganya yang memiliki bakat dalam membuat karya berupa novel, apalagi sampai “nangkring” di toko buku Gramedia.
Siapa sangka, sosok perempuan kalem kelahiran kelurahan Sulingan kecamatan Murung Pudak ini memiliki talenta luar biasa.
Tak hanya satu, tapi ada 3 novel yang mampu bersaing hingga dilirik penerbit ternama hingga karyanya bisa ikut mengisi rak buku di Gramedia.
Bukan saja berupa buku, karya tulisnya dalam bentuk digital ternyata juga digemari pecinta genre romantic dari mancanegara.
Nurul Izzati, S.KM nama lengkapnya. Novelis satu ini menceritakan bagaimana bisa Ia tertarik dan terjun dalam dunia tulis menulis.
Belajar menulis secara otodidak, hobynya membaca ternyata memberi andil besar dalam “melahirkan” karya tulisnya.
Ia menceritakan bagaimana suka dan duka dalam dunia tulis menulis novel.
Nurul juga bebagi tips bagi anak muda ataupun untuk semua usia yang ingin “menjajal” dunia penulisan novel.
Disambangi kontrasonline.com di kantor tempatnya bekerja, Nurul menuturkan bagaimana Ia bisa tertarik dalam dunia menulis.
“Sejak kecil saya memang hoby membaca, minat ini mungkin turun dari ibu, karena beliau juga hoby membaca” ujarnya mengawali cerita.

Mendorong minat baca Nurul kecil, setelah membantu pekerjaan sang ibu, Ia sering diberi reward berupa buku bacaan.
“Kalau sering membantu ibu, upahnya dibelikan buku bacaan anak, yang paling sering majalah BoBo” kenangnya sambil tersenyum.
Hingga sekarang, perempuan berusia 31 tahun ini memiliki koleksi buku satu lemari besar.
“Dulu, sampai dijatahi ibu kalau mau beli buku lagi tidak boleh nambah tempat (lemari), kalau mau ngisi buku baru maka buku lama harus ada yang dikeluarkan” ucapnya.
Saat dibangku kuliah, untuk menambah uang saku Nurul menyempatkan waktu untuk memberi les pada anak para tetangga.
“Pendapatan dari sini sebagian besar digunakan untuk beli buku bacaan yang disukai” katanya.
Setelah lulus kuliah, Ia pun sempat “mencicipi” dunia tambang.
“Sempat 5 tahun kerja diperusahaan tambang yang ada di Tabalong, persisnya dibagian health care” imbuhnya.
Kelak, pekerjaan di dunia tambang inilah yang mengilhami salah satu novel karyanya.
Karena sudah mempunyai penghasilan sendiri, minat membacanya makin “parah”.
“Setiap bulan gaji disisihkan sebagai budget untuk beli buku mulai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu” ujarnya sambil tertawa.
Beberapa waktu kemudian, atas permintaan sang ibu, Nurul diminta ikut seleksi penerimaan pegawai negeri.
“Namanya permintaan orang tua, saya nurut aja, tahun 2015 akhir ikut tes CPNS, Alhamdulillah lulus” ceritanya.
Jeda waktu antara pengumuman dan masuk kerja yang cukup lama membuat Nurul memiliki banyak waktu untuk menyalurkan hoby membacanya.
Tak hanya buku cerita yang dilahapnya, namun juga bacaan digital.
“Kadang – kadang ketemu bacaan yang penulisannya tidak enak dibaca, terus mikir, dari pada mengkritik tulisan orang kenapa tidak bikin tulisan sendiri saja” ucapnya mengenang kisah awal menulis.
Ibu satu anak ini kemudian mencari informasi di internet “wadah” bagi orang yang ingin menulis dan mengirim karya tanpa harus mengeluarkan biaya.
“Akhirnya ketemu salah satu platform digital dimana kita bisa ngirim tulisan secara gratis, ” tuturnya.
Nurul mengakui kalau Ia belajar menulis secara otodidak.
“Tidak ada yang ngajarin, belajar sendiri saja, hoby membaca berbagai jenis buku ternyata sangat membantu” ungkapnya.
Setelah dikirim ke platform tersebut ternyata tulisannya cukup digemari.
“Banyak pembaca yang nanya mana lagi karyanya. Bahkan beberapa orang penerbit ada yang mengontak namun tawarannya saya tolak, saat itu masih belum tertarik, hanya iseng bukan untuk dikomersilkan” ungkapnya.
Tiga bulan kemudian, salah satu penerbit lewat editornya yang cukup terkenal mengontaknya.
“Editor tersebut kebetulan karya bukunya sering saya baca, saya langsung bersedia” ucapnya sambil tersenyum lebar.
Setelah naskah cerita dikirim ke penerbit dan dilakukan perbaikan tulisan serta pembenahan lainnya, akhirnya novel pertamanya terbit.
“Sekitar enam bulan setelah dilakukan perbaikan macem-macem, termasuk berbagai faktor pertimbangan lainnya novel pertama yang berjudul Anesthetized tahun 2018 dengan penerbit Haru mulai diterbitkan” terangnya.
Tahun 2019, lahir lagi novel berjudul Loveliest Misfortune diterbitkan oleh Reynara.
Tahun 2020 novel berjudul Beautiful Mining Expert yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo kembali diluncurkan.
“Sebenarnya novel ketiga tersebut tulisan saya yang pertama dan dilempar ke platform digital, buku ini terinspirasi tentang kisah pekerja di tambang, jadi dunia pertambangan hanya sebagai background (latar) cerita” bebernya.
Novel yang dijual di toko Gramedia juga mendapat respon positif dari pasar, terbukti ribuan buah karyanya ludes terjual.
“Kalau novel pertama laku sekitar 3.000 eksemplar, novel kedua 10.000 eksemplar dan yang ketiga sekitar 3.500 eksemplar” rincinya.

Dari royalti tersebut Nurul mendapat bagi hasil sekitar 10 persen dipotong pajak.
“Satu novel bisa dapat bagi hasil kisaran 7 sampai 10 juta rupiah” ujarnya sambil tersenyum simpul.
“Tes Ombak” pasar online Mancanegara
Tahun 2021, perempuan berkulit putih ini tidak vakum alias tetap menulis.
“Saya tetap nulis, ada dua karya sebagai cadangan cerita, karena ada kebijakan penerbit selama pandemi, akhirnya dipending dulu terbitnya” timpalnya.
Iseng, dua tulisan terakhir ini coba Ia lempar ke pasar online mancanegara dan ternyata mendapat sambutan bagus.
“2 karya terakhir ini coba dilempar ke platform luar negeri secara online, ternyata responnya bagus” ujarnya lagi.
Bahkan, dari segi penghasilan “jualan” bacaan online di luar negeri jauh lebih besar, pundi -pundi Dollar yang dikonversi ke Rupiah menjadikan duit yang didapat lebih banyak.
“Kita juga dapat uang muka dan juga hasil dari royalti berdasarkan koin, nominalnya jauh lebih besar dari royalti jualan novel” bebernya sambil tertawa kecil.
Hal ini dimungkinkan karena kerja sama Nurul dengan penerbit untuk per buku (novel) bukan dikontrak sepenuhnya.
“Kita bisa bebas mau melemparnya kemana karena kerjasamanya hanya per buku” terangnya.
Meski sudah memiliki “nama” dan penggemar di dunia pernovelan, Nurul mengaku menulis masih belum menjadi prioritas utama.
“Pekerjaan utama sebagai Aparat Sipil Negeri (ASN) tetap menjadi prioritas” ujar pegawai Bappeda Tabalong ini sambil tersenyum.
Namun, dunia tulis menulis ini tidak Ia tinggalkan, “Menulis hanya jadi sampingan” imbuhnya.
Ia pun merasa pekerjaannya sebagai ASN tidak terganggu karena menekuni hoby menulis.
“Pekerjaan tetap yang utama, menulis hanya sampingan sekaligus menyalurkan bakat. Sejauh ini tidak ada masalah, yang penting bisa membagi waktu” ungkapnya.
Perempuan murah senyum ini juga terbilang sering di daulat menjadi pengisi acara.
“Grup – grup atau komunitas kepenulisan kan banyak, cukup sering juga diminta jadi pemateri, biasa lewat Zoom atau Line, dulu hampir setiap dua minggu sekali” katanya.
“Kalau untuk ngisi acara di Tabalong sendiri belum pernah sih” sambungnya.

Kendala
Nurul mengatakan salah satu kendala yang dihadapi oleh para penulis di Indonesia hingga saat ini adalah tingginya tingkat pembajakan.
“Dunia penulisan khususnya karya berupa e – Book rawan dibajak, ini jadi salah satu alasan penulis malas berkarya” keluhnya.
Ia menilai perlindungan negara masih terbilang minim.
“Pengalaman saya, novel pertama pas dibikin e Book, hari ini dinaikin besok sudah ada yang membajak, karenanya novel kedua tidak mau bikin versi e Book. Buku ketiga dibikin e Book lagi karena bagian dari kerjasama” timpalnya.
Dibandingkan dengan luar negeri, karya tulis mereka relatif susah untuk dibajak karena perlindungannya lebih canggih.
“Tulisan (e Book) penulis dari luar negeri susah dibajak, kalau ingin membajak juga harus diketik ulang per kata” timpalnya.
Nurul juga berharap pemerintah bisa lebih serius melindungi karya penulis dari tangan para pembajak.
Disinggung mengapa memilih judul dalam bahasa asing, Nurul mengatakan hal tersebut merupakan bagian dari strategi pemasaran.
“Lebih kepada nilai jual saja” imbuhnya.
Tantangan lain yang dihadapi penulis, ungkap jebolan UNLAM (sekarang ULM) tahun 2010 ini lagi adalah saat tidak ada ide.
“Kalau lagi tidak ada ide, istilah di kami lagi ngefeel, bisa sampai berbulan – bulan, nyari ide (solusinya) bisa lewat tontonan (film/drama) ataupun baca buku” ucapnya sambil tertawa.
“Mood juga sangat mempengaruhi” tambahnya.
Alumni SMAN 2 Tanjung ini pun mengakui seorang penulis harus banyak “menghayal”.
“Penulis harus memiliki imajinasi yang tinggi, kita harus menyelami cerita dan watak penokohan, karena itu ibaratnya novel adalah dunia kedua kita” ucapnya serius.
Tips bagi penulis pemula.
Bagi orang yang ingin mencoba menyalurkan hoby ataupun bakat dalam hal tulis menulis, Nurul memberikan beberapa tips.
“Baca buku sebanyak – banyaknya untuk memperkaya referensi, tentukan jenis cerita yang ingin ditulis sehingga bisa mencari buku bacaan sejenis” terangnya.
Kemudian, tuangkan dalam tulisan apa yang ada dipikiran.
“Tulis apa yang ada dalam dipikiran, jangan nilai bagus apa tidaknya dulu” tandasnya.
Selanjutnya cari partner untuk memberi saran, kritik maupun masukan.
“Partner bisa pembaca kritis ataupun editor” timpalnya.
Ia menegaskan agar pemula jangan pernah malu untuk mencoba.
“Respon (dari pembaca) belakangan” cetusnya.
“Senangkan dirimu sendiri dahulu dengan tulisan tersebut, orang (respon) belakangan” pungkasnya.(Boel)