Oleh : Yuzan Noor (Dosen STIA & STIT Tabalong)
Presiden/Wapres dan anggota legislatif hasil Pemilu 14 Februari 2024 sudah ditetapkan, tinggal menunggu pelantikan atau pengambilan sumpah jabatan sesuai penjadwalan yang dirancang Komisi Pemilihan Umum. Siapapun yang terpilih akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Keberadaan/keterpilihan anggota legislatif di daerah cukup siginifikan pengaruhnya dalam menyongsong Pemilihan Kepala Daerah serentak pada bulan November 2024. Sudah banyak kepala daerah yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun animo para peminat masih tinggi untuk duduk di singgasana “raja” di daerah. Bagai magnet yang sangat kuat kursi kepala daerah sangat menggiurkan. Timbul pertanyaan “mengapa orang tertarik menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota?”.
Diakui atau tidak, hanya ada 3 (tiga) motivasi utama seseorang yang berminat atau tertarik menjadi kepala daerah, yaitu :
- Pengabdian diri dan ingin membangun serta mensejahterakan masyarakat di daerah. Motivasi ini sangat normatif, filosofis dan idealis, dengan kata lain bahwa sang peminat hanya ingin menyumbangkan tenaga, waktu dan pikiran bahkan materi sebagai kepala daerah.
- Ingin mengangkat harkat/martabat diri pribadi dan keluarga (membuat/menambah catatan/riwayat hidup), tak peduli berapapun modal finansial yang dikeluarkan yang penting tujuan menjadi kepala daerah tercapai.
- Ada maksud mencari peruntungan, terbayang penghasilan/gaji yang besar bahkan memperoleh kekayaan jika berhasil menjadi kepala daerah. Secara guyonan ada pula motivasi seseorang yang kaya tertarik menjadi Kepala Daerah, hanya ingin menikmati perlakuan/pelayanan formal (protokoler) yang istimewa oleh orang lain, yang tidak didapatkannya kecuali harus menjadi Kepala Daerah.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah, ada orang yang sejati mempunyai idealisme menjadi kepala daerah hanya untuk pengabdian kepada masyarakat dan membangun daerah. Namun tidak sedikit yang semula dengan motivasi pengabdian secara perlahan tapi pasti akan bergeser ke motivasi yang kedua yaitu berharap terangkatnya harkat dan martabat pribadi dan keluarga, dan pada gilirannya mungkin saja akan mengincar motivasi yang ketiga untuk mendapatkan peruntungan dari penghasilan/gaji sebagai kepala daerah.
Dalam konteks mendapatkan peruntungan dari penghasilan/gaji sebagai kepala daerah, banyak yang belum tahu berapa penghasilan/gaji kepala daerah. Secara legal formal kompensasi yang akan didapatkan seorang kepala daerah/wakil kepala daerah selama menjabat, dikelompokan ke dalam 5 (lima) komponen, yaitu :
A.) Gaji dan Tunjangan, diatur dalam keputusan Presiden nomor 68 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000 tentang Hak dan Keuangan/Administratif kepala daerah/wakil kepala daerah dan bekas kepala daerah/bekas wakil kepala daerah serta janda/dudanya.
B.) Fasilitas Pendukung Pelaksanaan Tugas, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah.
C.) Biaya Penunjang Operasional (BPO).
D.) Insentif.
E.) Honor.
Komponen A, untuk Gubernur (Gaji Rp. 3.000.000 + Tunjangan Rp. 5.400.000) total diterima = Rp. 8.400.000/bulan. Untuk Wakil Gubernur, (Gaji Rp. 2.400.000 + Tunjangan Rp. 4.300.000) total diterima = Rp. 6.700.000/bulan. Untuk Bupati/Walikota, (Gaji Rp. 2.100.000 + Tunjangan Rp. 3.700.000) total diterima Rp. 5.800.000/bulan. Untuk Wakil Bupati/walikota, (Gaji Rp. 1.800.000 + Tunjangan Rp. 3.200.000) total diterima Rp. 5.000.000/bulan. Besarnya gaji dan tunjangan tersebut diatas belum dipotong pajak penghasilan (PPh) dan sampai sekarang gaji dan tunjangan kepala daerah/wakil kepala daerah belum ada penambahan/kenaikan.
Komponen B, fasilitas pendukung pelaksanaan tugas, terdiri dari : 1. Rumah jabatan dan perlengkapan beserta biaya pemeliharaannya. 2. Mobil dinas. 3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. 4. Perjalanan Dinas. 5. Pakaian Dinas dan atributnya. 6. Biaya Penunjang Operasional (BPO). Komponen 1 sampai 5 merupakan kompensasi yang pengadaan, pemakaian dan pemanfaatannya bersifat “real cost“ diatur secara detil dan rigit oleh peraturan perundang-undangan. Jika dalam pengelolaannya (sengaja) menyimpang dari ketentuan yang berlaku dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, maka pasti terdeteksi dan diketahui oleh Sistem/Aparat Pengawasan (Internal/Eksternal) dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Komponen C, Biaya Penunjang Operasional (BPO), merupakan penjabaran komponen B yaitu angka 6, dimana komponen ini diatur berdasarkan klasifikasi kemampuan daerah dalam menggali potensi dan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di tingkat Kabupaten/Kota , ada 6 klasifikasi PAD yang akan menentukan besaran BPO, yaitu :
PAD sampai dengan Rp. 5.000.000.000, maka tunjangan BPO hanya dibolehkan mendapat Rp. 125.000.000 s/d 3 % dari PAD.
PAD Rp. 5.000.000.000 ,-s/d Rp 10.000.000.000,- maka tunjangan BPO dapat diberikan Rp. 150.000.000,- s/d 2 % dari PAD.
PAD diatas Rp. 10.000.000.000,- s/d Rp. 20.000.000.000,- boleh diberikan tunjangan BPO minimal Rp. 200.000.000,- dan paling tinggi Rp. 1,50 % dari PAD.
PAD Rp. 20.000.000.000,- s/d Rp. 50.000.000.000,- dapat diberikan tunjangan BPO minimal Rp. 300.000.000,- paling tinggi 0,80 % dari PAD.
PAD Rp. 50.000.000.000,- s/d Rp. 150.000.000.000,- dapat diberikan tunjangan BPO minimal Rp. 400.000.000,- s/d 0,40 % dari PAD.
PAD diatas Rp. 150.000.000.000,- dapat diberikan tunjangan BPO Rp. 600.000.000,- s/d 0,15 % dari PAD.
Memang, pada umumnya saat ini daerah kabupaten/kota di Indonesia sudah berada pada klasifikasi ke 5 dan ke 6, walau ada Kabupaten/kota yang sudah mempunyai PAD sangat tinggi (misalnya Kabupaten Tangerang yang pada tahun 2023 memperoleh PAD lebih dari Rp. 2,8 Triliun). Artinya para Bupati/Walikota berhak mendapatkan BPO antara Rp. 400.000.000,- (terendah untuk klasifikasi 5) s/d Rp. 600.000.000.- (terendah untuk klasifikasi 6 ). Namun perlu diketahui, nominal BPO tersebut tidak semuanya masuk ke kantong pribadi kepala daerah/wakil kepala daerah, karena sesuai amanat PP nomor 109 tahun 2000 bahwa BPO dipergunakan untuk : penanggulangan kerawanan sosial, koordinasi, perlindungan masyarakat, pengamanan, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa serta kegiatan khusus lainnya untuk mendukung tugas kepala daerah. Disamping itu penggunaan BPO juga harus diatur dengan regulasi lokal (Peraturan Kepala Daerah) dan pasti banyak stake holder terlibat/berhak atas BPO. Dengan pembagian klasifikasi dan tujuan peruntukan BPO seperti tersebut diatas, maka nilai besaran BPO yang diterima kepala daerah berbeda-beda.
Komponen D, Insentif pencapaian pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah, yang diberikan setiap triwulan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2010 tentang Tata cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), ditetapkan besarnya Insentif untuk Kabupaten/kota 5 % dari rencana penerimaan PDRD. Contoh di Kabupaten X di Kalimantan Selatan pada tahun 2023 memperoleh PDRD sebesar Rp. 94,5 Milyard. Dengan demikian maka Bupati/Wakil dan pihak terkait ( Non ASN ) mendapatkan 5 % x Rp. 94,5 M.
Komponen E,. Honor. Dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah, terkadang dibentuk Tim/Panitia kegiatan lintas sektor yang diberi imbalan honor. Biasanya keberadaan Tim/Panitia tersebar di beberapa Unit Pelaksana Kegiatan Pemerintahan daerah ( Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD ). Namun dalam satu dekade terakhir ,karena sudah diberlakukannya Tunjangan Kinerja/Tunjangan Perbaikan Penghasilan ,Tim/Panitia yang diberi honor tersebut sudah ditiadakan atau sangat selektif diperlukan.
Akhirnya, secara sederhana dapat diketahui apa saja dan berapa nilai kompensasi seorang ketika menjabat sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah. Simulasi kompensasi seorang Bupati/Walikota adalah :
Gaji + Tunjangan = Rp. 5.800.000,-/bulan
Fasilitas Pendukung Pelaksanaan Tugas, secara nominal tidak bisa dihitung karena dinikmati/dimanfaatkan secara real cost.
BPO. Diambil klasifikasi 6, dengan asumsi Bupati/walikota diberikan 25 % dari Rp.600.000.000,-= Rp. 150.000.000,-/tahun, dibagi 12= Rp.12.500.000,-/bulan
Insentif PDRD. , sample kabupaten X , Rp. 94,5 M x 5% = Rp. 4,7 M/tahun , dibagi 12 = Rp. 391.666.666,- /bulan
Honor Tim/Panitia , relatif dan sangat selektif diadakan.
Demikian ilustrasi kompensasi seorang kepala daerah. Apakah itu yang menjadi motivasi seseorang tertarik menjadi kepala daerah ?. Jika ada penghasilan di luar dari 5 (lima) sumber legal formal tersebut di atas, maka hal itu bisa dikatakan sebagai penghasilan tersembunyi (hidden income) dan akan menjadi pertanyaan/perdebatan publik. Ingatlah bahwa semua Aparatur Negara apalagi kepala daerah dibentengi dengan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo.Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi ( TPK ). Ada 7 ( tujuh ) jenis TPK, yaitu : 1. kerugian negara, 2. penyuapan, 3. penggelapan dalam jabatan, 4. pemerasan, 5. perbuatan curang, 6. benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang/jasa, 7. Gratifikasi. Banyaknya kepala daerah yang ditangkap/tertangkap oleh KPK, karena melakukan TPK demi menambah penghasilan di luar yang legal formal.